- Back to Home »
- Benarkah cara Berislam Anda
Posted by : omalie
Sabtu, 02 Januari 2016
Tidak bisa dipungkiri Islam “lahir” lebih dari 14 abad
yang lalu. Selang waktu yang sangat lama ini sangat memungkinkan untuk terjadi
kesesatan di dalam “tubuh” Islam. Jangankan 14 abad, dalam waktu yang sangat
singkat saja, suatu kaum bisa menjadi sesat, sebagaimana terjadi pada Bani
Israil ketika ditinggalkan oleh Nabi Musa ‘alaihissalam selama 40 hari. Yang tadinya mereka hanya menyembah
kepada Allah, akhirnya mereka menyembah kepada berhala. Begitu pula dengan
jarak yang sangat jauh dengan pusat penyebaran Islam di zaman dahulu, seperti:
Madinah, Mekkah, Baghdad, Mesir dll. Untuk bisa mencapai negeri Indonesia, para
penyebar Islam harus menempuh pelayaran dan perjalanan yang sangat lama. Ini juga
mendukung terjadinya kesesatan. Berdasarkan catatan sejarah, di awal-awal
masuknya Islam ke Indonesia, Islam banyak disebarkan oleh para pedagang Islam
yang berinteraksi dengan masyarakat pribumi. Mereka tidak terkenal sebagai
ulama yang benar-benar menguasai ilmu Islam secara mendalam sebagaimana
ulama-ulama yang berada di pusat penyebaran Islam di zaman dahulu. Seandainya
benar mereka adalah ulama-ulama yang memiliki ilmu yang sangat dalam, tentunya
kita akan mendapatkan peninggalan-peninggalan ilmiah mereka, baik berupa:
tulisan tangan, riwayat perkataan mereka atau kemasyhuran mereka di dunia
Islam. Tetapi ternyata kita tidak menemukannya. Sehingga bisa disimpulkan bahwa
Islam di Indonesia dulunya diajarkan oleh orang-orang yang belum mencapai derajat
ulama yang mendalam ilmunya. Jika demikian, maka Islam bisa ternoda dengan
ketidakberilmuan mereka. Ini juga sangat mendukung terjadinya kesesatan di
Indonesia. Sebagaimana kita ketahui juga, agama yang banyak menyebar di
Indonesia sebelum masuknya agama Islam adalah agama Hindu,
Budha, Animisme, Dinamisme dan Atheis. Disadari atau
tidak, ini juga tidak menutup kemungkinan untuk terjadi percampuran agama Islam
dengan agama-agama tersebut. Belum lagi dengan budaya yang beraneka ragam yang
sekarang sangat tampak pengaruhnya terhadap pemeluk-pemeluk Islam di Indonesia.
Ini juga bisa mendukung terjadinya kesesatan. Dengan membaca apa yang telah
penulis paparkan di atas, maka Indonesia bisa menjadi “lahan” subur untuk
menyebarnya berbagai kesesatan. Oleh karena itu, dalam berislam kita harus
benar-benar memperhatikan apakah Islam yang kita jalani pada saat ini adalah
Islam yang benar dan jauh dari kesesatan ataukah tidak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan di dalam hadits Abu Hurairah:
Artinya: “Umat Yahudi terpecah-belah menjadi
71 atau 72 kelompok. Umat Kristen juga terpecah belah menjadi 71 atau 72
kelompok. Sedangkan umatku akan terpecah-belah menjadi 73 kelompok [1]. Seluruhnya di neraka kecuali satu kelompok.[2] Hadits di atas dengan jelas mengabarkan bahwa kaum muslimin
akan berpecah-belah dan hanya ada satu kelompok yang selamat. Ini harus kita
imani, karena Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wa sallam-lah yang mengatakannya.
Hadits di atas juga mengabarkan bahwa ketujuh puluh kelompok tersebut masih
digolongkan sebagai umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang beragama Islam, sehingga meskipun mereka terjatuh
kepada kesesatan, mereka di akhirat nanti masih berada di bawah kehendak Allah.
Jika Allah
berkehendak untuk mengazab mereka maka Allah akan
mengazab mereka, jika tidak maka Allah tidak akan mengazab mereka. Akan tetapi,
kesemuanya pada akhirnya akan masuk surga. Penulis perlu mengingatkan bahwa ada
kelompok-kelompok di dalam Islam yang menisbatkan diri mereka kepada Islam,
tetapi kelompok-kelompok tersebut sebenarnya bukanlah termasuk umat Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam,
seperti: Ahmadiyah, Jaringan Islam Liberal (JIL), beberapa tarikat Shufiyah dan Syi’ah/Rafidhah
yang
melampaui batas dll. Kelompok-kelompok tersebut tidak termasuk ketujuh puluh
kelompok yang disebutkan di dalam hadits di atas. Siapakah satu kelompok yang
disebutkan di dalam hadits tersebut? Untuk menjawab pertanyaan ini, maka kita
tidak boleh mengaku-ngaku berada dalam kebenaran kecuali memang ada dalilnya
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Dan
seharusnya kita selalu merasa was-was atau ragu apakah Islam yang kita jalani
pada saat ini sudah benar ataukah belum. Dengan demikian kita akan bersemangat
untuk mencari kebenaran tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mensifati mereka pada kelanjutan hadits di atas:
Artinya: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun ditanya, “Siapakah satu kelompok itu, Ya Rasulullah?”
Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam pun
menjawab, “Apa yang sesuai dengan yang saya dan para sahabatku berada di atasnya
pada hari ini.” Dengan demikian, Islam yang paling benar adalah Islam yang
sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa ada penambahan dan
pengurangan di dalamnya dan juga Islam yang dijelaskan oleh para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam, karena mereka langsung menerima ilmu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sekarang ini banyak orang
mengatakan bahwa kelompoknya adalah kelompok yang paling benar, karena
kelompoknya berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Akan tetapi, mengapa masih terjadi perpecahan di antara mereka sehinga yang
satu kelompok mengkafirkan yang lain dan yang lainnya mengatakan sesat kelompok
yang lain? Ini semua terjadi karena mereka memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah hanya dengan akal-akal mereka atau mencukupkan diri
dengan bahasa Arab yang mereka kuasai. Sehingga mereka tidak tahu apakah mereka
telah terjatuh kepada kesesatan ataukah tidak. Saudara pembaca yang
mudah-mudahan Allah merahmati kita semua, Jika Al-Qur’an dan As-Sunnah ditafsirkan atau dijelaskan dengan akal-akal manusia,
maka akan terjadilah keberagaman pemahaman, karena setiap orang sangat berbeda
tingkat pemahamannya dengan yang lain. Jika terus berlangsung demikian, maka
Islam di setiap zaman akan berbeda-beda dan akan menjadi agama baru yang
berbeda dengan Islam yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu, kita harus mengikuti pemahaman siapa? Jawabannya
adalah kita harus mengikuti pemahaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabatnya dan
orang-orang yang mengikuti jalan mereka dengan baik. Apakah mereka masih ada
pada zaman sekarang ini? Ya, orang-orang yang mengikuti pemahaman para sahabat
dan orang-orang yang mengikutinya dengan baik masih ada pada zaman sekarang ini
sampai hari kiamat nanti. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Artinya : ”Senantiasa ada sekelompok orang di kalangan
umatku yang selalu tampak dengan kebenarannya. Orang yang tidak mengacuhkan
mereka tidak dapat memberikan mudarat kepada mereka sampai datang perkara Allah
dan mereka tetap dengan kebenarannya.”[3] Mengapa
kita harus mengikuti pemahaman para sahabat dan orang-orang yang mengikutinya
dengan baik? Setidaknya ada empat alasan mengapa kita harus mengikuti pemahaman
mereka, yaitu: 1. Allah subhanahu
wa ta’ala telah
me-ridha-i mereka di dalam
Al-Qur’an dengan firman-Nya: Artinya: “Allah telah ridha kepada mereka dan mereka pun telah ridha kepada Allah.” (QS Al-Bayyinah : 8) 2. Mereka adalah
umat terbaik di hadapan Allah Artinya: “Sebaik-baik manusia adalah yang hidup
di zamanku, kemudian yang hidup setelah zamanku, kemudian yang hidup
setelahnya.” [4] 3. Allah mengancam
orang-orang yang menyelisihi mereka di dalam Al-Qur’an dengan firman-Nya
Artinya: “Dan barangsiapa yang menentang Rasul
sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan
orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali.” (QS An-Nisa’ : 115) “Jalan orang-orang mukmin”,
siapakah mereka? Tidak lain, mereka adalah sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. 4. Allah di dalam Al-Qur’an telah memuji mereka dan menyediakan untuk
mereka surga
Artinya: “Orang-orang yang terdahulu lagi yang
pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang
yang mengikuti mereka dengan baik, Allah telah me-ridha-i mereka dan mereka pun
telah ridha kepada Allah. Dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang
mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya.
Itulah kemenangan yang besar.” (QS At-Taubah : 100) Pada ayat di atas Allah
menyebutkan keutamaan kaum Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik. Allah telah me-ridha-i
mereka dan menyediakan surga untuk mereka kelak. Oleh karena itu, kita harus
bisa mengikuti jejak mereka agar bisa menjadi seperti orang-orang yang
disebutkan setelah kaum Muhajirin dan Anshar dan mendapatkan keutamaan berupa
ke-ridha-an Allah dan surga.
Bagaimana agar kita bisa benar-benar yakin bahwa Islam
yang kita jalani adalah Islam yang sesuai dengan pemahaman mereka? Agar kita
bisa yakin, maka kita harus benar-benar mempelajari Islam ini dan menghidupkan
keilmiahan dalam beragama. Kita tidak menerima, mengamalkan dan berkeyakinan
kecuali benar-benar memiliki dalil dari Al-Qur’an dan HaditsNabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyebar di dunia
Islam pun harus diseleksi lagi, karena hadits tersebut bermacam-macam; Ada
hadits shahih dan hasan (kedua hadits
inilah yang bisa menjadi hujjah/dalil); dan ada juga
haditsdha’if/lemah dan maudhu’/palsu (kedua hadits ini
tidak bisa dijadikan hujjah). Tidak cukup dengan itu,
kita harus meneliti lagi apakah pemahaman kita akan tafsir Al-Qur’an danhadits tersebut sudah sesuai dengan pemahaman orang-orang Islam
yang terdahulu (kaum salaf dari kalangan sahabat, tabi’in, tabi’ut-tabi’in
dan
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik) dengan membaca nukilan-nukilan
perkataan mereka di kitab-kitab para ulama yang terpercaya keilmuannya. Di
dalam urusan dunia saja kita harus ilmiah dalam menerima segala sesuatu,
contohnya: Dalam bidang kedokteran, para dokter tidak bisa menerima suatu cara
pengobatan kecuali dengan adanya penelitian dan bukti ilmiah. Begitu pula dalam
bidang teknologi, para ilmuan tidak bisa mengatakan bahwa sesuatu penemuan
tersebut adalah ilmu pengetahuan kecuali bisa dibuktikan dan dijelaskan dengan
teori-teori ilmiah. Apalagi dalam beragama, maka kita juga harus menghidupkan
keilmiahan dalam beragama, sehingga kita nantinya tidak salah dalam memahami
agama ini dan tidak tersesat.
Kita
juga seharusnya jangan terlalu fanatik dengan madzhab fiqh tertentu,
seperti: madzhab
Syafi’i,
madzhab Hanbali
(Ahmad), madzhab
Hanafi
dan madzhab Maliki.
Imam-imam madzhabtersebut
tidaklah ma’shum
(terjaga
dari dosa), sehingga memungkinkan bagi mereka terjatuh kepada
kesalahan-kesalahan. Tidaklah ada pada suatu madzhab fiqh tersebut kecuali di
dalamnya ada kebenaran dan kesalahan. Apa-apa yang benar dan sesuai dengan
dalil, maka kita ikuti. Dan apa-apa yang salah atau menyelisihi dalil maka kita
harus tolak. Kebenaran yang muthlaq tidak ada terdapat pada suatu madzhab tertentu.
Dengan demikian, Sudah benarkah cara berislam Anda? Jika belum benar, maka
marilah kita sama-sama memperbaikinya, berlapang dada menerima kebenaran dan
tidak sombong. Akhirul-kalam, penulis mengharapkan kepada
pembaca untuk bisa menyebarkan kebaikan yang terdapat pada tulisan ini dengan
menyampaikannya kepada orang-orang di sekitar pembaca, keluarga dan kaum
muslimin. Mudahan tulisan ini bermanfaat. Amin. [1] Sampai
di sini HR Abu Dawud no. 4596, At-Tirmidzi no. 2640 dan Ibnu Majah no. 3991
(Hadits ini di-shahih-kan oleh Syaikh Al-Albani). [2] HR
Al-Marwazi di As-Sunnah no. 59 dan Al-Hakim di Al-Mustadrak no.
444. Hadits ini
memiliki syahid dari Anas bin Malik, sebagaimana diriwayatkan oleh Ath-Thabrani
di Al-Mu’jam Al-Aushath no.
4886. [3]
HR
Muslim no. 5059 [4] HR Al-Bukhari no. 2652 dan Muslim no. 6635 Sumber
: http://kajiansaid.wordpress.com